SEJARAH PERADILAN MILITER DI INDONESIA
Masa Pendudukan Belanda dan Jepang
Sebelum perang Dunia ke-II, Peradilan Militer Belanda di Indonesia dikenal dengan “Krijgsraad” dan “Hoog Militair Gerechtshof”. Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi perbuatan pidana militer dan anggota-anggotanya terdiri dari Angkatan Darat Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) yaitu KNIL, dan anggota Angkatan Laut Belanda. Anggota Angkatan Darat Hindia Belanda (KNIL) diperiksa dan diadili oleh “Krijgsraad” untuk tingkat pertama dan “Hoog Militair Gerechtshof” untuk tingkat banding. Sedangkan anggota-anggota Angkatan Laut Belanda diperiksa dan diadili oleh “Zeekrijgsraad” dan “Hoog Militair Gerechtshof”.
“Krijgsraad” terdapat di kota Cimahi, Padang, Ujung Pandang dengan daerah hukum masing-masing. Dengan demikian penguasa Belanda di Jawa-Madura maupun di luar daerah mengadakan “Temporaire Krijgsraad” yaitu Mahkamah Militer, sementara yang diberi wewenang mengadili tindak pidana oleh orang-orang yang bukan Militer serta bukan digolongkan dalam bangsa Indonesia. Majelis Hakim terdiri dari 3 (tiga) orang, Oditur ialah Jaksa landgerecht.
Mahkamah Militer Sementara (Belanda) itu bersidang dengan Majelis Hakim. Mahkamah Agung Indonesia dalam sejarahnya melakukan kelanjutan dari “Het Hooggerechtshof Ver Indonesie” (Mahkamah Agung pemerintah Hindia Belanda di Indonesia) yang didirikan berdasarkan R.0 tahun 1842 dan Het Hooggerechtshof (HGH) merupakan hakim kasasi terhadap putusan-putusan Raad Van Justitie (RV) yaitu peradilan peradilan sehari-hari bagi orang-orang Eropa dan yang disamakan dengan mereka. Het Hooggerechtshof berkedudukan di Jakarta.
Masa Sesudah Kemerdekaan Republik Indonesia (1945 s/d 1970)
Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, merupakan titik awal penegakan hukum oleh Bangsa Indonesia. Tanggal 18 Agustus 1945 disahkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai Dasar Negara RI yang di dalamnya terkandung nilai-nilai dasar dan kaedah yang fundamental berdasarkan atas hukum bukan kekuasaan.
Setelah berdirinya Negara Republik Indonesia, pemerintah tetap mempertahankan badan-badan Peradilan serta Peraturan-Peraturan dari zaman Pendudukan Jepang dengan perubahan-perubahan/penambahan-penambahan berdasarkan UUD 1945. Sehubungan dengan itu untuk menghindarkan kekosongan hukum dalam UUD 1945 diadakanlah Ketentuan Peralihan (Pasal II) :
“Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Ketentuan inilah yang merupakan dasar hukum yang terpenting dari praktik Peradilan di Indonesia pada masa setelah Proklamasi. Dengan adanya ketentuan tersebut Peradilan-Peradilan (terutama Peradilan Umum dan Peradilan Agama) yang telah ada di zaman pendudukan Jepang tetap berjalan seperti keadaan sebelumnya. Demikian juga seharusnya Peradilan Ketentaraan. Berdasarkan ketentuan peralihan tersebut, Pemerintah Indonesia juga dapat mewarisi Peradilan Ketentaraan yang telah ada pada zaman Pendudukan Jepang.
Tetapi dalam pernyataan Pemerintahan RI pada waktu itu praktiknya tidak mengoper Peradilan Ketentaraan dari zaman sebelumnya. Juga setelah dibentuknya Angkatan Perang RI pada tanggal 5 Oktober 1945, Peradilan Militer belum diadakan. Peradilan Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1946 pada tanggal 8 Juni 1946. Namun demikian, tidak berarti bahwa pada masa di antara 5 Oktober 1945 hingga 8 Juni 1946 dalam Iingkungan Angkatan Bersenjata tidak ada Hukum dan Keadilan. Adalah telah menjadi prinsip khususnya bagi para pemimpin TNI bahwa dalam keadaan apa pun, keadilan harus selalu ditegakkan. Bahwa pada waktu itu berhubung dengan keadaan belum diadakan Peradilan-Peradilan Militer, tidak berarti bahwa terhadap pelanggaran-pelanggaran Hukum sama sekali tidak diadakan tindakan apa pun, seperti diketahui dalam Lingkungan Militer selalu berlaku hukum disiplin. Inilah yang diberlakukan pada masa itu, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di Lingkungan ABRI diselesaikan serta keadilan pun ditegakkan.
Bahwa Peradilan Disiplin ini sebagai alat untuk menegakkan keadilan, namun di Lingkungan ABRI khususnya memang dirasakan masih kurang mencukupi kebutuhan, dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara disamping Pengadilan Biasa. Pengadilan Tentara pada waktu itu terdiri dari 2 (dua) badan (tingkat) yakni :
- Mahkamah Tentara.
- Mahkamah Tentara Agung.
Bila perlu berhubung dengan keadaan dimungkinkan pula untuk dibentuk suatu Pengadilan Tentara Luar Biasa. Pengadilan Tentara berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1948 terdiri dari :
- Mahkamah Tentara.
- Mahkamah Tentara Tinggi.
- Mahkamah Tentara Agung.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1950 maka peraturan tentang susunan dan kekuasaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan di Indonesia dapat dikatakan sudah mantap susunannya sama dengan PP. No. 37 Tahun 1948. Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang kekuasaan kehakiman dalam Peradilan Ketentaraan dilakukan oleh, yaitu :
- Pengadilan Tentara.
- Pengadilan Tentara Tinggi.
- Mahkamah Tentara Agung.
Dalam hal penegakan hukum dapat dilihat pada pemerintahan Soekarno yang dikenal Otoriter, senantiasa berupaya dengan sistematik dan dengan berbagai cara mempengaruhi kekuasaan lembaga peradilan baik melalui pengetahuan perundang-undangan maupun intervensi langsung kekuasaan eksekutif terhadap proses peradilan. Pelaksaaan kekuasaan lembaga peradilan yang independen dimulai ketika Presiden Soekarno memaklumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Soekarno kemudian melakukan intervensi terhadap pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang bebas melalui UU No. 19 tahun 1964, tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Retorika Politik Revolusioner telah memasuki UU. No 19 tahun 1964, yang memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk melakukan Interversi terhadap peradilan dalam hal kepentingan nasional atau kepentingan revolusi terancam. Presiden Soekarno memberikan status menteri kepada Ketua Mahkamah Agung. lni berarti Presiden menjadikan Ketua Mahkamah Agung sebagai unsur kekuasaan pemerintah yang membantu Presiden (UUD 1945 pasal 17), kebijakan ini sangat bertentangan dengan konsep-konsep UUD 1945.
Intervensi kekuasaan Eksekutif terhadap pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan berlanjut ke era pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Pemerintahan Soeharto menghambat pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang Independen melalui UU. No 14 tahun 1970, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Kehakiman yang bebas tidak dapat dilaksanakan secara utuh karena pengaturan administrasi, organisasi dan finansial lembaga peradilan, diletakkan di bawah departemen kehakiman. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pada Pasal 11 UU tersebut yang menimbulkan dualisme dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yaitu satu sisi teknis peradilan berada di bawah Mahkamah Agung dan sisi Administrasi, Organisasi dan Keuangan berada di bawah kendali Departemen Kehakiman. Pada masa Orde Baru secara normative seakan menata kembali kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam UU No. 14 tahun 1970 tersebut dan berbagai Peraturan Perundang�Undangan di bidang peradilan yang menegaskan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pihak lain ekstra yudisial.
Menurut pasal 6 UU No. 19 tahun 1948, dalam Negara Republik Indonesia dikenal adanya 3 (tiga) lingkungan peradilan, yaitu :
- Lingkungan Peradilan Umum
- Lingkungan Peradilan Tata Usaha Pemerintahan
- Lingkungan Tata Usaha Ketentaraan
Pada saat Indonesia menjadi Negara Serikat, pengaturan lembaga peradilan didalam konstitusi RIS lebih luas dibandingkan dengan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai jaminan terlaksananya peradilan dengan baik, maka dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tidak lagi digunakan, yang digunakan adalah UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara).
Perubahan tersebut dengan sendirinya berpengaruh pada lembaga peradilan, karena UUDS tidak lagi mengenal daerah-daerah atau negara bagian berarti pula tidak dikenal lagi peradilan-peradilan di daerah bagian. Sebagai realisasi dari UUDS, maka pada tahun 1951 diundangkan Undang-Undang Darurat No 1 tahun 1951. Undang-Undang darurat inilah yang kemudian menjadi dasar menghapuskan beberapa peradilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan Repubik Indonesia. Termasuk secara berangsur-angsur menghapuskan Peradilan Swapraja di beberapa daerah tertentu dan semua peradilan adat.
Kembalinya kepada UUD 1945 belum terealisasikan dengan murni dan terhadap eksistensi kemandirian lembaga peradilanlndonesia seperti dalam pasal 24 dan 25 UUD 1945. dalam penjelasannya ditegakkan kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, akan tetapi dalam pelaksanaanya telah menyimpang dari UUD 1945 antara lain pernah lahir UU No 19 tahun 1964 tentang campur tangan peresiden terhadap pengadilan. Bahkan dalam penjelasannya disebutkan bahwa pengadilan tidak bebas dari pengaruh kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan pembuat Undang-Undang.
Pengaruh kekuasaan pemerintahan Otoriter terhadap pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independent terjadi mulai pada proses pengadilan sampai kepada pengaturan organisasi, administrasi dan keuangan. Segenap pengaruh eksekutif terhadap peradilan tersebut hares di lihat dalam rangka menghambat pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independent. kekuasaan pemerintahan Otoriter senantiasa berupaya secara sitematik dan dengan berbagai cara mempengaruhi kekuasaan lembaga peradilan. Baik melalui pengaturan perundang-undangan maupun Intervensi Iangsung kekuasaan Eksekutif terhadap proses Peradilan. Dengan latar belakang sistem politik masa pemimpin besar revolusi lahirlah UU No 10 tahun 1985 tentang pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Dalam era tersebut, bahkan ketua Mahkamah Agung menjadi salah satu mentri sebagai pembantu presiden. Ketentuan UU No 19 Tahun 1964 jelas bertentangan dengan pasal 24 dan 25 UUD 1945 beserta penjelasannya.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, jelaslah kekuasaan lembaga peradilan pada era demokrasi terpimpin/ era orde lama bukan merupakan kekuasaan lembaga peradilan yang mandiri. Sebab secara kelembagaan kekuasaan lembaga peradilan pada masa itu tidak bebas dari pengaruh kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Legeslatif. Bahkan kekuasaan Presiden.
Masa Reformasi Kekuasaan Lembaga Peradilan (1970-1998)
Berdasarkan pada latar belakang politik seperti yang telah diutarakan diatas, maka lahirlah UU No 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman sebagai pengganti UU No 19 tahun 1964. UU No. 14 tahun 1970 tersebut merupakan resultan dari pertentangan pendapat antara kelompok komponen Orde Baru dengan kekuatan kelompok Militer yang tidak menghendaki kekuasaan lembaga peradilan Negara RI Terlepas dari kontrol pemerintah atau birokrasi. Hasil kompromi dari dua pandangan yang sating bertentangan tersebut adalah dicabutnya pasal 19 tersebut, serta makna pasal 24 dan 25 beserta penyelesaiannya di masukakan dalam UU kekuasaan kehakiman yang baru tetapi pembinaan administrasi, organisasi dan Finansial badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.yang direktur jenderalnya dari kehakiman agung.
Sesuai dengan perkembangan istilah dalam bidang Peradilan, yang terdapat dalam berbagai Perundang-Undangan, antara lain Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka terhadap nama Pengadilan Ketentaraan perlu diadakan penyesuaian, yaitu menjadi:
- Mahkamah Militer (Mahmil)
- Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti)
- Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung).
Kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka telah disebutkan dalam pasal 11′ ayat (1) ketetapan MPR RI No 111 / MPR/ 1978 yang berbunyi ” Mahkamah Agung adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh pihak lain Ekstrayudisial. Namun dalam kenyataannya pada periode 1970 sampai dengan tumbangnya masa orde baru, kemandirian lembaga peradilan tidak dapat terwujud sebagaimana yang di harapkan.
Undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman yaitu:
- UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
- UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
- UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum
- UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara
- UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
- UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Sesuai dengan berbagai UU diatas, terdapat empat lingkungan organisasi kekuasaan Lembaga Peradilan yaitu:
- Lingkungan badan Peradilan Umum
- Lingkungan badan Peradilan Agama
- Lingkungan badan Peradilan Militer
- Lingkungan badan Peradilan Tata Usaha Negara.
Lingkungan-lingkungan peradilan tersebut berpijak pada Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman tertinggi untuk semua lingkungan. Peradilan dan berbagai lingkungan badan peradilan tersebut dapat di bedakan menjadi dua katagori yaitu: Badan Peradilan Umum dan Badan Peradilan Khusus.
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan badan-badan Peradilan khusus. Disebut Badan Peradilan Khusus, karena
Mengadili perkara-perkara tertentu, yaitu perkara pidana dan perkara perdata. Yang tepat adalah menerapkan hukum material tertentu. Hukum materiil Agama Islam (tertentu) oleh Peradilan Agama. Hukum material Tata Usaha (tertentu) oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Dan hukum material Militer (tertentu) oleh Peradilan Militer.
Mengadili golongan tertentu. Peradilan Agama mengadili perkara perdata tertentu (seperti perceraian, warisan, wakaf) bagi mereka yang beragama Islam.
Peradilan Militer mengadili perkara pidana atau disiplin tentara bagi anggota ABRI atau orang-orang lain yang diperlakukan sama dengan ABRI.
Peradilan Tata Usaha Negara mengadili badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Lingkungan Peradilan Militer mempunyai corak susunan yang berbeda meskipun berpuncak pada Mahkamah Agung.
Berdasarkan UU. No. 31 Tahun 1997 Peradilan Militer disusun sebagai berikut :
- Pengadilan Militer sebagai Peradilan Tingkat Pertama bagi Terdakwa berpangkat atau yang disamakan dengan Kapten ke bawah.
- Pengadilan Militer Tinggi
- Pengadilan Militer Utama
Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Militer merupakan Badan Pelaksana kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Angkatan Bersenjata, dengan tugas dan wewenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada waktu melakukan tindak pidana adalah :
- Prajurit.
- Yang berdasarkan Undang-Undang dipersamakan dengan Prajurit.
- Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-Undang.
Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh Tindak Pidana yang menjadi dasar dakwaan dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu Putusan.
Adapun Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Militer, menurut UU. No. 31 Tahun 1997 terdiri dari :
- Peradilan Militer.
- Peradilan Militer Tinggi.
- Peradilan Militer Utama.
- Peradilan Militer Pertempuran.
Tempat kedudukan Peradilan Militer Utama berada di Ibu Kota Negara Republik Indonesia, sedangkan nama, tempat kedudukan dan daerah hukum Peradilan Iainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima dan apabila perlu Peradilan Militer dan Peradilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar tempat kedudukannya, juga apabila diperlukan Peradilan Militer dan Peradilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya atas ijin kepala Panglima Militer Utama sedangkan Peradilan Tertinggi dalam Peradilan Militer dalam Tingkat Kasasi adalah di bawah Mahkamah Agung RI.
SEJARAH PERADILAN MILITER DI INDONESIA
a. Masa Pendudukan Belanda dan Jepang
Sebelum perang Dunia ke-II, Peradilan Militer Belanda di Indonesia dikenal dengan “Krijgsraad” dan “Hoog Militair Gerechtshof”. Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi perbuatan pidana militer dan anggota-anggotanya terdiri dari Angkatan Darat Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) yaitu KNIL dan anggota Angkatan Laut Belanda. Anggota Angkatan Darat Hindia Belanda (KNIL) di periksa dan di adili oleh “Krijgsraad” untuk tingkat pertama dan “Hoog Militair Gerechtshof” untuk tingkat banding.
Sedangkan anggota-anggota Angkatan Laut Belanda di periksa dan di adili oleh “Zeekrijgsraad” dan “Hoog Militair Gerechtshof” , “Krijgsraad” terdapat di kota Cimahi, Padang, Ujung Pandang dengan daerah hukum masing-masing. Dengan demikian penguasa Belanda di Jawa-Madura maupun diluar daerah mengadakan “Temporaire Krijgsraad” yaitu Mahkamah Militer sementara yang di beri wewenang pula mengadili tindak pidana yang oleh orang-orang bukan Militer serta bukan di golongkan dalam bangsa Indonesia. Majelis Hakim terdiri dari 3 (tiga) orang, Oditur ialah Jaksa landgerecht.
Mahkamah Militer Sementara (Belanda) itu bersidang dengan Majelis Hakim. Mahkamah Agung Indonesia dalam sejarahnya melakukan kelanjutan dari “Het Hooggerechtshof Ver Indonesie” (Mahkamah Agung pemerintah Hindia Hindia Belanda di Indonesia) yang didirikan berdasarkan R.0 tahun 1842 dan Het Hooggerechtshof (HGH) merupakan hakim kasasi terhadap putusan-putusan Raad Van Justitie (RV) yaitu peradilan�peradilan sehari-hari bagi orang-orang Eropa dan yang di samakan dengan mereka. Het Hooggerechtshof berkedudukan di Jakarta.
b. Masa Sesudah Kemerdekaan Republik Indonesia (1945 s/d 1970)
Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, merupakan titik awal penegakan hukum oleh Bangsa Indonesia. Tanggal 18 Agustus 1945 disahkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar Negara RI yang di dalamnya terkandung nilai-nilai dasar dan kaedah yang fundamental berdasarkan atas hukum bukan kekuasaan.
Setelah berdirinya Negara Republik Indonesia, pemerintah tetap mempertahankan badan-badan Peradilan serta Peraturan-Peraturan dari Jaman Pendudukan Jepang dengan perubahan-perubahan / penambahan-penambahan berdasarkan UUD 1945. Berhubung dengan itu untuk menghindarkan kekosongan hukum dalam UUD 1945 diadakanlah Ketentuan Peralihan (Pasal II) :
“Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Ketentuan inilah yang merupakan dasar hukum yang terpenting dari praktek Peradilan di Indonesia pada masa dekat setelah Proklamasi. Dengan adanya ketentuan tersebut Peradilan-Peradilan (terutama Peradilan Umum dan Peradilan Agama) yang telah ada di jaman pendudukan Jepang tetap berjalan seperti keadaan sebelumnya. Demikian juga seharusnya Peradilan Ketentaraan. Berdasarkan ketentuan peralihan tersebut di atas, Pemerintah Indonesia dapat mewarisi juga Peradilan Ketentaraan yang telah ada pada Jaman Pendudukan Jepang.
Tetapi dalam pernyataan Pemerintahan RI pada waktu itu prakteknya tidak mengoper Peradilan Ketentaraan dari zaman sebelumnya. Juga setelah dibentuknya Angkatan Perang RI pada tanggal 5 Oktober 1945, Peradilan Militer belum diadakan. Peradilan Militer ini baru dibentuk setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1946 pada tanggal 8 Juni 1946. Namun demikian ini tidak berarti bahwa pada masa diantara 5 Oktober 1945 dan 8 Juni 1946 dalam Iingkungan Angkatan Bersenjata tidak ada Hukum dan Keadilan. Adalah telah menjadi prinsip khususnya bagi para pemimpin TNI bahwa dalam keadaan apa pun keadilan harus selalu ditegakkan. Bahwa pada waktu itu berhubung dengan keadaan belum diadakan Peradilan-Peradilan Militer, tidak berarti bahwa terhadap pelanggaran-pelanggaran Hukum sama sekali tidak diadakan tindakan apapun, seperti diketahui dalam Lingkungan Militer selalu berlaku hukum disiplin, inilah pada masa itu pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di Lingkungan ABRI diselesaikan serta keadilan ditegakkan.
Bahwa Peradilan Disiplin ini sebagai alat untuk menegakkan keadilan, khususnya di Lingkungan ABRI memang dirasakan masih kurang mencukupi kebutuhan, dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara disamping Pengadilan Biasa. Pengadilan Tentara pada waktu itu terdiri dari 2 (dua) badan (tingkat) yakni :
- Mahkamah Tentara.
- Mahkamah Tentara Agung.
Bila perlu berhubung dengan keadaan dimungkinkan pula untuk dibentuk suatu Pengadilan Tentara Luar Biasa. Pengadilan Tentara berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1948 terdiri dari :
- Mahkamah Tentara.
- Mahkamah Tentara Tinggi.
- Mahkamah Tentara Agung.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1950 maka peraturan tentang susunan dan kekuasaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan di Indonesia dapat dikatakan sudah mantap susunannya sama dengan PP. No. 37 Tahun 1948. Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang kekuasaan kehakiman dalam Peradilan Ketentaraan dilakukan oleh, yaitu :
- Pengadilan Tentara.
- Pengadilan Tentara Tinggi.
- Mahkamah Tentara Agung.
Dalam hal penegakan hukum dapat di lihat pada pemerintahan Soekarno yang dikenal dengan pemerintahan Otoriter, senantiasa berupaya dengan sistematik dan dengan berbagai cara mempengaruhi kekuasaan lembaga peradilan balk melalui pengetahuan perundang-undangan maupun inerpensi langsung kekuasaan eksekutif terhadap proses peradilan. pelaksaaan kekuasaan lembaga peradilan yang independent dimulai ketika Presiden Soekarno memaklumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Soekarno kemudian melakukan intervensi terhadap pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang bebas melalui UU no. 19 tahun 1964, tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Retorika Politik Revolusioner telah memasuki UU. No 19 tahun 1964, yang memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk melakukan Interversi terhadap peradilan dalam hal kepentingan nasional atau kepentingan revolusi terancam. Presiden Soekarno memberikan status menteri kepada Ketua Mahkamah Agung. lni berarti Presiden menjadikan Ketua Mahkamah Agung sebagai unsur kekuasaan pemerintah yang membantu Presiden (UUD 1945 pasal 17), kebijakan ini sangat bertentangan dengan konsep-konsep UUD 1945.
Intervensi kekuasaan Eksekutif terhadap pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan berlanjut ke era pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Pemerintahan Soeharto mengahambat pelaksanaan kekuasaan lembagan peradilan yang Independen melalui UU. No 14 tahun 1970, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Kehakiman yang bebas tidak dapat dilaksanakan secara utuh karena pengaturan administrasi, Organisasi dan Finansial lembaga peradilan diletakkan di bawal departemen kehakiman. Hal ini dapat di lihat dalam ketentuan dalam pasal 11 UU tersebut yang menimbulkan dualisme dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman.yaitu satu sisi teknis peradilan berada di bawah Mahkamah Agung dan sisi Administrasi, Organisasi dan Keuangan berada di bawah kendali Departemen Kehakiman.pada masa Orde Baru secara normative seakan menata kembali kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam UU. No. 14 tahun 1970 tersebut dan berbagai Peraturan Perundang�Undangan di bidang peradilan yang menegaskan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pihak lain ekstra yudisial.
Menurut pasal 6 UU No. 19 tahun 1948. dalam Negara Republik Indonesia dikenal adanya 3 (tiga) lingkungan peradilan, yaitu :
- Lingkungan Peradilan Umum
- Lingkungan Peradilan Tata Usaha Pemerintahan
- Lingkungan Tata Usaha Ketentaraan
Pada saat Indonesia menjadi Negara Serikat, pengaturan lembaga peradilan didalam konstitusi RIS lebih luas dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai jaminan terlaksananya peradilan dengan baik, maka Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tidak lagi digunakan, yang digunakan adalah UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara).
Perubahan tersebut dengan sendirinya berpengaruh pada lembaga peradilan, karena UUDS tidak lagi mengenal daerah-daerah atau negara bagian berarti pula tidak dikenal lagi peradilan-peradilan di daerah bagian. Sebagai realisasi dari UUDS, maka pada tahun 1951 di undangkan Undang�Undang Darurat No 1 tahun 1951. Undang-Undang darurat inilah yang kemudian menjadi dasar menghapuskan beberapa peradilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan Repubik Indonesia. Termasuk secara berangsur-angsur menghapuskan Peradilan Swapraja di beberapa daerah tertentu dan semua peradilan adat.
Kembalinya kepada UUD 1945 belum terealisasikan dengan murni dan terhadap eksistensi kemandirian lembaga peradilan lndonesia seperti dalam pasal 24 dan 25 UUD 1945. Dalam penjelasannya kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, akan tetapi dalam pelaksanaanya telah menyimpang dari UUD 1945, antara lain pernah lahir UU No 19 tahun 1964 tentang campur tangan presiden terhadap pengadilan. Bahkan dalam penjelasannya disebutkan bahwa pengadilan tidak bebas dari pengaruh kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan pembuat Undang-Undang.
Pengaruh kekuasaan pemerintahan Otoriter terhadap pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independent terjadi mulai pada proses pengadilan sampai kepada pengaturan organisasi, administrasi dan keuangan. Segenap pengaruh eksekutif terhadap peradilan tersebut hares di lihat dalam rangka menghambat pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independent. kekuasaan pemerintahan Otoriter senantiasa berupaya secara sitematik dan dengan berbagai cara mempengaruhi kekuasaan lembaga peradilan. Baik melalui pengaturan perundang-undangan maupun Intervensi Iangsung kekuasaan Eksekutif terhadap proses Peradilan. Dengan latar belakang sistem politik masa pemimpin besar revolusi lahirlah UU No 10 tahun 1985 tentang pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Dalam era tersebut, bahkan ketua Mahkamah Agung menjadi salah satu mentri sebagai pembantu presiden. Ketentuan UU No 19 Tahun 1964 jelas bertentangan dengan pasal 24 dan 25 UUD 1945 beserta penjelasannya.
Berdasarkan hal-hal tersebut, jelaslah bahwa kekuasaan lembaga peradilan pada era demokrasi terpimpin/era orde lama bukan merupakan kekuasaan lembaga peradilan yang mandiri. Sebab secara kelembagaan, kekuasaan lembaga peradilan pada masa itu tidak bebas dari pengaruh kekuasaan Eksekutif dan Legeslatif, bahkan kekuasaan Presiden.
c. Masa Reformasi Kekuasaan Lembaga Peradilan (1970-1998)
Berdasarkan pada latar belakang politik seperti yang telah diutarakan diatas, maka lahirlah UU No 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman sebagai pengganti UU No 19 tahun 1964. UU No. 14 tahun 1970 tersebut merupakan resultan dari pertentangan pendapat antara kelompok komponen Orde Baru dengan kekuatan kelompok Militer yang tidak menghendaki kekuasaan lembaga peradilan Negara RI Terlepas dari kontrol pemerintah atau birokrasi. Hasil kompromi dari dua pandangan yang sating bertentangan tersebut adalah dicabutnya pasal 19 tersebut, serta makna pasal 24 dan 25 beserta penyelesaiannya di masukakan dalam UU kekuasaan kehakiman yang baru tetapi pembinaan administrasi, organisasi dan Finansial badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.yang direktur jenderalnya dari Kehakiman Agung.
Sesuai dengan perkembangan istilah dalam bidang Peradilan, yang terdapat dalam berbagai Perundang-Undangan, antara lain Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka terhadap nama Pengadilan Ketentaraan perlu diadakan penyesuaian, yaitu menjadi:
- Mahkamah Militer (Mahmil)
- Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti)
- Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung).
Kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka telah disebutkan dalam pasal 11′ ayat (1) ketetapan MPR RI No 111 / MPR/ 1978 yang berbunyi ” Mahkamah Agung adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh pihak lain Ekstrayudisial. Namun dalam kenyataannya pada periode 1970 sampai dengan tumbangnya masa orde baru, kemandirian lembaga peradilan tidak dapat terwujud sebagaimana yang di harapkan.
Undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman yaitu:
- UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
- UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
- UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum
- UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara
- UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
- UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
Sesuai dengan berbagai UU diatas, terdapat empat lingkungan organisasi kekuasaan Lembaga Peradilan yaitu:
- Lingkungan badan Peradilan Umum
- Lingkungan badan Peradilan Agama
- Lingkungan badan Peradilan Militer
- Lingkungan badan Peradilan Tata Usaha Negara.
Lingkungan-lingkungan peradilan tersebut berpijak pada Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman tertinggi untuk semua lingkungan. Lingkungan Peradilan Militer mempunyai corak susunan yang berbeda meskipun berpuncak pada Mahkamah Agung.
Berdasarkan UU. No. 31 Tahun 1997 Peradilan Militer disusun sebagai berikut :
1. Pengadilan Militer sebagai Peradilan Tingkat Pertama bagi Terdakwa berpangkat atau yang disamakan dengan Kapten ke bawah.
2. Pengadilan Militer Tinggi sebagai :
- Peradilan Tingkat Pertama bagi Terdakwa yang berpangkat Mayor atau yang disamakan dengan Mayor ke atas.
- Peradilan Tingkat Pertama bagi sengketa Tata Usaha Militer.
- Peradilan Banding terhadap Putusan Pengadilan Militer.
3. Pengadilan Militer Utama :
- Peradilan Tingkat Banding sengketa Tata Usaha Militer yang telah diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi.
- Memutus Tingkat Pertama dan terakhir sengketa wewenang dan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan.
Pengadilan Militer Tinggi dengan Pengadilan Militer.
Memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dengan Oditur mengenai diajukan atau tidak suatu perkara dihadapan Peradilan Militer atau Peradilan Umum.
Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Militer merupakan Badan Pelaksana kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Angkatan Bersenjata, dengan tugas dan wewenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada waktu melakukan tindak pidana adalah :
- Prajurit.
- Yang berdasarkan Undang-Undang dipersamakan dengan Prajurit.
- Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-Undang.
Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh Tindak Pidana yang menjadi dasar dakwaan dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu Putusan.
Adapun Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Militer, menurut UU. No. 31 Tahun 1997 terdiri dari :
- Peradilan Militer.
- Peradilan Militer Tinggi.
- Peradilan Militer Utama.
- Peradilan Militer Pertempuran.
Tempat kedudukan Peradilan Militer Utama berada di Ibu Kota Negara Republik Indonesia, sedangkan nama, tempat kedudukan dan daerah hukum Peradilan Iainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima dan apabila perlu Peradilan Militer dan Peradilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar tempat kedudukannya, juga apabila diperlukan Peradilan Militer dan Peradilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya atas ijin kepala Panglima Militer Utama, sedangkan Peradilan Tertinggi dalam Peradilan Militer dalam Tingkat Kasasi adalah di bawah Mahkamah Agung RI.
Sistem Peradilan Satu Atap di Indonesia.
Perkembangan politik pasca jatuhnya Pemerintahan Orde Baru membawa tuntutan pembaharuan reformasi disegenap lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk reformasi di bidang hukum secara umum dan di bidang Pengadilan secara khusus. Reformasi sektor hukum dan Pengadilan dimaksudkan untuk memperkuat Indepedensi Kekuasaan Lembaga Peradilan.
Pemikiran Reformatif dalam bidang Hukum adalah berkenaan dengan peran kekuasaan kehakiman yang muncul dalam era reformasi pada pertengahan dan akhir tahun 1990-an adalah bahwa organisasi, administrasi dan keuangan lembaga kekuasaan kehakiman harus ditangani oleh kekuasaan kehakiman sendiri, yaitu oleh badan peradilan. Selama lembaga eksekutif menangani organisasi, administrasi dan keuangan peradilan mengakibatkan beban Peradilan tidak berdiri Independen, terpengaruh oleh kekuasaan eksekutif.
Dalam kebijakan Reformasi pembangunan bidang hukum ditetapkan oleh dua hal yang mendasar :
Penanggulangan krisis di bidang hukum bertujuan untuk pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang Aparatur Penegak Hukum agar dapat dicapai proporsionalitas, profesionalitas dan integritas yang utuh.
Pelaksanaan Reformasi di bidang hukum yaitu :
- Pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif.
- Mewujudkan Sistem Hukum Nasional melalui program legislasi nasional secara terpadu.
- Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tahun 2004 Indonesia memasuki abad baru dalam kehidupan ketatanegaraan yang berkaitan dengan masalah penyelenggaraan fungsi kekuasaan Lembaga Peradilan. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun 2004 Pasal 13 Ayat (1) menetapkan :
“Organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.”
Pemindahan kewenangan bidang organisasi, administrasi dan finansial Lembaga Peradilan dari eksekutif kepada yudikatif berdasar UU. No. 4 Tahun 2004 tersebut, maka pembinaan Bidang Teknis Yudisial dan Non Teknis Yudisial Lembaga Peradilan kini berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Pemindahan kewenangan di bidang organisasi adalah meliputi kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, dan struktur organisasi pada :
- Direktorat Jendral Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
- Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama.
- Peradilan Tinggi.
- Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara.
- Peradilan Tinggi Agama / Mahkamah Syariah.
- Peradilan Negeri.
- Peradilan Tata Usaha Negara.
- Peradilan Agama / Mahkamah Syariah.
Yang dimaksud dengan pemindahan kewenangan di bidang administrasi meliputi kepegawaian, kekayaan negara, keuangan, arsip dan dokumen pada Direktorat Jendral Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Peradilan Tinggi, Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara, Peradilan Tinggi Agama / Mahkamah Syariah, Peradilan Negeri, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama / Mahkamah Syariah beralih dalam satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Yang dimaksud dengan pengalihan di bidang finansial adalah mengenai anggaran yang sedang berjalan pada Direktorat Jendral Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Peradilan Tinggi, Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara, Peradilan Tinggi Agama / Mahkamah Syariah, Peradilan Negeri, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama / Mahkamah Syariah beralih dalam satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Pada tanggal 1 Maret Tahun 2004 Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia telah menyerahkan organisasi, administrasi dan finansial dalam Iingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara kepada Ketua Mahkamah Agung, dan pada tanggal 30 Juni 2004 Menteri Agama juga telah menyerahkan organisasi, administrasi dan finansial Lingkungan Peradilan Agama pada Ketua Mahkamah Agung.
Selanjutnya karena berbagai kendala teknis, sedikit tertunda dari tanggal 30 Juni 2004 yang ditetapkan dalam UU, pada tanggal 1 September 2004 Panglima ABRI juga telah menyerahkan organisasi, administrasi dan finansial Iingkungan Peradilan Militer kepada Ketua Mahkamah Agung RI, dan sesuai dengan Pasal 43 UU. No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, sejak dialihkannya organisasi, administrasi dan finansial sebagaimana dimaksud oleh Pasal 42 Ayat 1 maka :
- Semua Pegawai Direktorat Jendral Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Peradilan Tinggi, Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara, Peradilan Negeri, Peradilan Tata Usaha Negara menjadi Pegawai pada Mahkamah Agung.
- Semua Pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Jendral Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Peradilan Tinggi, Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara, Peradilan Negeri, Peradilan Tata Usaha Negara, menjadi tetap menduduki jabatannya dan tetap menerima tunjangan jabatan pada Mahkamah Agung.
- Semua Aset milik / barang inventaris di lingkungan Pengadilan Negeri dan Peradilan Tinggi serta Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara beralih ke Mahkamah Agung.
Berdasarkan Pasal 44 UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman, sejak dialihkannya organisasi, administrasi dan finansial sebagaimana dimaksud oleh Pasal 42 Ayat (2) maka :
- Semua Pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi Pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung serta Pegawai Peradilan Agama dan Peradilan Tinggi Agama menjadi Pegawai Mahkamah Agung.
- Semua Pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menduduki Jabatan pada Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Semua aset milik/barang inventaris pada Peradilan Agama dan Peradilan Tinggi Agama beralih ke Mahkamah Agung.
Berdasarkan Pasal 45 UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman, sejak dialihkannya organisasi, administrasi dan finansial sebagaimana dimaksud oleh Pasal 42 Ayat (3), maka:
- Pembinaan personel militer di Lingkungan Peradilan Militer diIaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur personel militer.
- Semua PNS di Lingkungan Peradilan Militer beralih menjadi PNS di Mahkamah Agung.